“The stars are getting so close, so does Heaven.”
Itulah cara nian menggambarkan tempat ini, luas, bebas. Setelah membiarkan jiwa nya terbelenggu begitu lamanya di dunia lain.
‘Akhirnya aku disini’, bisiknya sendiri.
Nian mulai menutup mata dan menghirup perlahan aroma tempat ini yang entah kenapa selalu membuat dada Nian berdebar begitu kencangnya, aroma tanah, pinus, dan sulfur memenuhi paru-parunya dan mengisi bagian kosong dalam dada Nian. Untuk kesekian kalinya Nian jatuh cinta lagi.
Nian merapatkan jaket sambil mendesah pelan, dan mulai melangkah maju. Di kedinginan yang nyaris membekukan ini, sebagian dari nya lumer, meleleh dan tumpah dalam wujud sebulir air mata. Ada banyak kata yang ingin dia ceritakan, tapi selalu dengan caranya, Nian tak pernah perlu berkata apapun. Dia kehilangan kata yang telah bertumpuk di kepala dan memenuhi hati nya selama berbulan-bulan ini. Akhirnya Nian hanya tersenyum tipis dan menunduk melihat kaki nya mulai menapaki jalan mendaki itu.
‘ayo.. ‘ kata pria di depannya sembari mengulurkan tangan dan menatap nya hangat.
Suara itu membuyarkan lamunan Nian, dengan mantap dia menyambut tangan terbaik di dunia ini, dan berjalan di sampingnya dan seketika, dunia berubah sempurna. Sangat sempurna untuk Nian.
‘kriiiiinnggg’…. ‘krrriiiinngggg’……
Setelah men-snoozealarm sebanyak 10 kali, akhirnya nian benar – benar terbangun. Dengan setengah melotot nian melirik jam tangan nya dan mulai berlari ke kamar mandi. Sepuluh menit berikutnya Nian telah berada di atas sepeda motor memacunya secepat mungkin.
‘Selalu. Baru datang ya?’ selidik mbak Sri melihat Nian baru keluar dari tempat parkir.
Nian hanya meringis dan menggaruk kepalanya.
‘Kenapa sih, Ni. Pakek Alarm gitu. Masa iya, tiap pagi selalu telat. Malu di liat anak-anak tuh.’
‘gak mempan mbak,kalo alarm nya itu mesin. Harus pake alarm manusia.’
‘aish… gitu ngaku cewek… ck.ck.. gimana ntar kalo dah nikah’
‘do’ain aku ntar nikahnya ma alarm mbak .. :D’
Seloroh nya sambil berlalu. Nian tersentak ketika secara tiba – tiba ponselnya berbunyi nyaring. Satu Panggilan masuk dari ‘Alarm Man’.
‘Halo, Ni.Udah bangun???’
‘Udah, ni dah di sekolah.’ Cengir Nian
‘susaaaah banget bangunin kamu, ya. Di telpon berkali – kali gak mempan. Telat lagi??’
‘eh…. Bangun kok.’
‘trus ngapain???’
‘ya silent ponsel trus tidur lagi..hehehe..’
‘harus gimana lagi banguninnya? Apa gunanya alarm man kalo kamu matiin gitu terus.’
‘ Pecahin jendela kamar, ato dobrak pintu kamar. mungkin’
‘hahaha emang sinting ni orang.’
‘Kadang. tapi aku bangga kok. Masalah pacaran ma cewek sinting???’
‘aku suka kok cewek sinting…. Heheee’ suara di sebrang terkekeh
‘berarti saingan ku cewek-cewek rumah sakit jiwa ya, ato kalo ada cewek2 gila yang lagi keliaran di pinggir jalan. Bahaya nie.’
‘ya, kita liat aja ntar. Mereka sama kamu menang yang mana…. Haahhahaaa…’
‘ih pinter ya, ‘
‘siapa dulu…’
‘stooop. Aku mau masuk kelas. Ku tutup telfon nya.’
‘ni…’ tut. Nian telah menutup telp dan mematikannya.
‘Kamu tu apa sih ni???’ Tanya mas Andy suatu hari
‘Apa???? Apa gimana???’ tanya nian asal dengan mulut penuh
‘Manusia bukan??’
‘ihhh…. Tega lu, mas. Ya iyalah!!!’
‘trus gendernya apa???’
‘lu rabun??? Ato kepala lu habis ke jedot becak???’
‘di bilang cewek, kok kayak gini. Di bilang cowok, tapi kamu badan cewek.’ Tatapan Andy menyapu Nian dari Ujung kaki ke Ujung kepala.
‘sialaaaaannnn…. Itu masalah keteguhan menjadi diri sendiri, bung. Biarin aja kali. Gue nggak sendiri kok. :p’
‘gini, ya. Dari semua cewek yang pernah aku kenal, baru kali ini gue kenal ada cewek model kayak elu. Bangun selalu kesiangan. Suka begadang sambil minum kopi. Kalo pake baju asal, kadang nggak disetrika..’
‘lho… keliatan ya???’ Nian melihat baju nya sendiri menggosoknya berharap kerutan itu mengencang. Tapi sia-sia
‘huuuft, dah gitu makannya banyak..’
‘masa pertumbuhan, mas.’
‘suka nonjok juga.’
‘itu kan karena dianiaya. Membela diri lah…’
‘dan satu lagi yang aku heran, kamu bisa ya jalan muter – muter gak pake mandi pagi.’
‘hmmm….., kepepet.’ Ucap nian asal sembari menyuapkan sesendok gado – gado terakhirnya
‘kepepet kok sering’
‘ya berarti emang sering kepepet’
‘gue tu cowok, tapi nggak segitunya, ni.’
‘nggak macho berarti, masih macho gue. :p hahahahahhaaa’ ucap Nian akhirnya sembari memesan sepiring gado-gado lagi, yang hanya di sambut nafas panjang dari mas andi.
Mas Andi bukan orang pertama dengan ide bahwa Nian ‘Aneh’ dan Nian sendiri juga menyadarinya. Tapi bagi Nian, bukan perkara mudah juga untuk berubah. Berjuang berkali – kali tapi tetap saja menjadi Alien di planet sendiri. Hingga akhirnya Nian memutuskan ‘I love being an alien’ dan pertahanan Nian tak tertembus saran dan kritikan sekejam apapun.
Hanya seorang manusia yang menganggap Nian bukanlah ‘Alien’ sebaliknya a precious little thing yang harus di jaga baik-baik, dan merasa Nian bukan lah orang Aneh, tapi Istimewa. Dia, Deni, Alarm Man-nya Nian. Segila apapun Nian bertingkah, Deni hanya tertawa dan mendukungnya. Dukungan paling tulus yang bisa diberikan orang lain untuk ‘Alien’ Nian. Deni, bersedia mengikuti ide-ide gila Nian sampai pada tahap ketidak warasan yang tidak bisa disembuhkan.
Saat orang lain menatap heran ketika Nian nongol di depot makan tanpa harus repot-repot mandi. Deni hanya akan tersenyum dan bilang, ‘Aku suka kok bau kamu.’ , di lain hari ketika dengan gila nya Nian meminta Deni menjemputnya di Luar kota hanya dengan sepeda motor, Deni datang sesuai dengan permintaan Nian tanpa keluhan dan tersenyum bertanya ‘tadi belanja Apa aja??’ padahal dia harus terjaga nyaris 2 malam penuh untuk perjalanan ‘gila’ itu, sedang si aneh Nian tengah tertidur di belakang Deni. Ketulusan Deni lah yang membuat Nian akhirnya luluh, dan Deni adalah The Best Man on earth untuk Nian. Deni adalah supporter terbaik Nian untuk semua Ide gila Nian. Selain Ide untuk menginggalkan nya, Deni selalu siap di sekitar Nian. Selalu. Kapanpun Nian membutuhkannya. Nian merasa tidak butuh siapapun, karena Deni bisa menjadi apapun untuknya, sosok ayah, sahabat, kakak, dan kekasih. Nian sering berkata ‘we are the best couple on earth.. the best co-worker, the best partner in crime heheheee…’ dan di amini oleh Deni.
Pagi itu Nian sibuk membongkar lemari, mengaduk – aduk baju nya sendiri dan mematut dirinya di cermin. Bukan perilaku normal Nian, tapi hari ini bukan hari biasa. Ini adalah hari bersejarah untuk nya dan Deni. Dan meskipun untuk sesekali, dia bersedia untuk tampil ‘tidak normal’.
Deni mengajak Nian untuk bertemu keluarganya, dan itu bukan masalah sepele. Seperti rencana mereka, ini adalah satu langkah besar untuk membuka jalan ke Ikatan yang lebih dari sekedar ‘partner in crime’, mereka akan menjadi ‘an everlasting couple in crime’, itulah ide nya. Dengan binary-binar harapan, Nian berputar – putar di depan cermin. Hingga Deni menjemputnya dengan senyumnya yang merekah sepanjang jalan.
Bau tanah dan dedaunan mulai menguar di sekitar Nian seiring tetes – tetes air yang mulai menjatuhi perbukitan tempat Nian bersembunyi.
Hujan adalah pesta tersendiri untuk Nian, dan dengan caranya yang aneh yang tidak ada seorang pun tahu kenapa, Hujan adalah salah satu pusat kebahagiaan Nian. Hujan adalah berkah. Hujan adalah salah satu cinta langit kepada tanah yang membuatnya hidup. Hujan lebih dari sekedar air yang tertumpah dari langit, itu ‘momen sakral’ kutbah Nian suatu hari ketika banyak temannya berteduh saat hujan sedang dia dengan riangnya menari di antara tetes air itu dan tertawa – tawa. Binar – binar di matanya tidak akan bisa membohongi siapapun kalau dia sangat menikmatinya.
Tapi kali ini lain, Hujan tetap mengguyur Nian tapi dia tidak tertawa, tidak sesungging pun senyumnya keluar dia hanya berdiri tegak disana, Binar itu redup, tatapannya sayu. Seperti orang telah kalah lotere padahal seluruh harta nya telah dipertaruhkannya. Atau bahkan lebih buruk dari itu. Tangannya terkepal seakan meremas kertas tak kasat mata hingga hancur dan Bibirnya bergetar menahan air matanya tumpah. Dia berjuang, agar pertahanannya tak roboh. 15 menit berlalu dan Nian tetap tak bergeming. Akhirnya pertahanan Nian ambruk, kepalannya merenggang, Nian melorot duduk seakan kakinya terlalu lelah untuk menopang segala beban yang kini tengah di pikulnya dan mulai menangis.
Malam itu, Nian melihat deny di depannya dengan wajah sembab, dan layu, hanya tangannya terkepal kuat di samping tubuhnya. Tidak tegap dan optimis seperti biasa. Nian bisa membaca itu, pasti ada yang terjadi. Ada yang salah, dan itu pasti akan menyakiti ku juga, pikir Nian. Dalam benak Nian, dia sudah bisa menebak apa yang membuat partner in crime Nian seperti itu, bibirnya bergetar. dan berharap pikiran itu salah. Hingga akhirnya Nian hanya bisa menggigit bibirnya hingga berdarah ketika dengan terbata – bata Deny meminta maaf padanya di iringi matanya yang mulai memerah.
‘maaf, ni. Maaf. Aku nggak bisa. Orang tua ku ngelarang aku ketemu kamu lagi.’ Kata Deny sepatah sepatah mencoba terlihat kuat, seiring perkataannya kepalan tangannya mengerat.
Dada Nian langsung luruh, bahu nya melorot.
Air matanya mulai merebak mengaburkan wajah deny di depannya. Sekilas gambaran – gambaran hari yang mereka lewati selama 2 tahun ini berputar mundur di kepalanya. Bagaimana dia hanya mengenal dan melihat Deny selama ini. Bagaimana dia optimis dengan pilihannya waktu itu dan tak tergoyahkan hingga detik ini. Dan setelah semua itu, bagaimana hal seperti ini luput dari koreksi mereka. Sedang, berbagai rencana telah di susun. Berbagai mimpi telah di rakit dan di letakkan di atas kepala masing-masing dan tinggal selangkah, hanya selangkah lagi semua mimpi itu akan terbentuk dan lahir ke dunia nyata.
Dengan serampangan Nian mengusap air matanya yang telah tercampur dengan hujan. Berharap tetes – tetes air itu bisa meluruhkan bebannya dan menghanyutkan memorynya. Tapi, setelah 1 jam berada disana, Nian masih tidak bisa menghentikan air matanya.
[to be continued… ]